- Diposting oleh : Gerby Novario
- pada tanggal : Agustus 04, 2014
Kalo bicara mengenai Yahudi, apalagi tentang sejarahnya, banyak sekali yang bisa kita ungkapkan, dan juga sejarah-sejarah bangsa Yahudi juga banyak tertuang dalam kitab-kitab agama Syamawi terutama sekali dijelaskan oleh Al-Quran, dan yang jelas, entah mengapa Yahudi ini sering sekali muncul ke permukaan mula dari masa para nabi hingga saat ini. Hal demikian inilah yang membuat penulis tertarik sekali membuat artikel mengenai sejarah Yahudi. Pada kesempatan kali ini penulis ingin sekali memaparkan mengenai salah satu idealisme orang Yahudi, yakni Zionisme. Zionisme yang pada akhir-akhir seringkali masuk ke TV, terutama Zionisme Israel yang tengah konflik dengan bangsa Palestina, membuat diri penulis mendapatkan ide untuk menulis artikel mengenai latar belakang munculnya Zionisme Yahudi ini. Dengan bantuan banyak sumber artikel ini akhirnya dapat dibuat.
apa itu Zionisme (dan bukan keimanan Yahudi) akan
diungkapkan dalam artikel kali ini,
Zonisme sering didefinisikan oleh dirinya sendiri sebagai
hal-hal berikut.
1.
Doktrin Politik
Sejak tahun 1896, Zionisme berhubungan
dengan gerakan politik yang digerakan oleh Theodore Herlz.“ (Encyclopedia of Zionisme and Israel [New
York: Herlz Press, 1971], Vol I, hlm. 1662.)
2.
Doktrin Nasionalis tidak dilahirkan oleh
Judaisme, melainkan oleh Nasionalisme Eropa pada abad XIX. Pendiri Zionisme
politik, Tehodore Herlz, tidak menggalinya dari agama “Saya tidak patuh
terhadap impuls agamawi.” (Th. Herlz,
Diaries, Ed. Victor Gollancz, 1958.) “Saya seorang agnostik.” (hlm. 54)
Herlz sebenarnya tidak tertarik
pada tanah suci Palestina. Untuk tujuan
nasionalisme, dia menerima Uganda, Tripoli, Siprus, Argentina, Mozambik, Atau
Kongo (sebagai cikal bakal negara yahudi, penj).
(Herlz, Diaries [passim])
Akan tetapi dihadapan
kawan-kawannya yang mempunyai keimanan Yahudi, dia menyadari akan pentingnya
legenda yang kuat (mighty legend), seperti yang dikemukakannya (diaries I, hlm.
56),”... merupakan sebuah seruan untuk bersatu kembali dari satu kekuatan yang
tidak tertahankan.” (Herlz, L ‘Etat Juif
‘Negara Yahudi’, hlm. 54)
Ini adalah slogan penggerak yang
tidak dapat diabaikan sama sekali oleh politik realis ini. Dengan cara mengubah
legenda kuat mengenai kembali ke tanah asal, untuk menjadi realistas sejarah,
dia memproklamirkan, “Palestina adalah tanah air kita yang tak terlupakan...
Nama ini akan menjadi panggilan persatuan yang sangat kuat bagi bangsa kita.” (Herlz, Etat Juif, Hlm. 209.)
“Bagi saya, persoalan Yahudi
bukan persoalan sosial, bukan juga persoalan keagamaan... ini adalah persoalan
nasional.”
3.
Doktrin kolonial.
Dalam hal ini, Herlz yang cemerlang tidak
meyembunyikan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Sebagai langkah pertama ia
mendirikan sebuah badan yang mempunyai statuta (compagnie a charte) dibawah perlindungan Inggris atau semua
kekuatan politik lainnya, sambil menunggu penciptaan Negara Yahudi.
Karena itu ia
menghubungi seorang tokoh yang dinilai berhasil dalam operasi semacam ini ,
yaitu pelanggar hukum kolonial: Cecil Rhodes, yang melalui Compagnie a Charte-nya berhasil memisahkan suatu wilayah di Afrika
selatan untuk dijadikan sebuah negara yang dinamai dengan namanya sendiri:
Rhodesia.
Theodre Herlz
menyuratinya pada tanggal 11 Januari 1902 “Saya memohon dengan sangat, kirimi
saya sebuah teks yang menyatakan bahwa Anda telah mempelajari program saya dan
Anda telah menyetujuinya. Anda tentunya bertanya mengapa saya menghubungi Anda,
Tuan Rhodes. Ini karena program Saya adalah program kolonial.” (herlz, tagebuch,
vol III, hlm. 105.)
Doktrin politik
dari nasionalis dan kolonialis merupakan tiga ciri yang mendefinisikan Zionisme
politik, yang telah menjadi pemenang dalam Kongres basel pada bulan Agustus
1897. Theodore Herlz yang jenius dan Michiavelis, mengatakan alasan yang tepat
tentang Kongres tersebut, “Saya telah mendirikan negara Yahudi.” (Diaries, hlm. 224)
Setengah abad
kemudian, politik inilah yang diterapkan secara tepat oleh pengikut-pengikut
Herlz dengan cara mendirikan negara Israel (setelah Perang Dunia II), menurut
metode dan garis-garis yang telah diterapkannya.
Akan tetapi,
upaya politis, nasionalis, dan kolonialis ini sama sekali bukanperpanjangan
dari keimanan dan spiritualitas agama Yahudi.
Bahkan pada saat
berlangsungnya Kongres Basel, yang tidak dapat dilaksankan di Munchen (seperti
yang direncanakan oleh Herlz) akibat dari tentangan masyarakat Yahudi Jerman, berlangsung
juga Konferensi Montreal (1897). Atas usulan Rabi Isaac Meyer Wise (tokoh Yahudi
yang paling mewakili semua golongan di Amerika saat itu) diputuskan sebuah Mosi
yang menolak secara radikal dua cara pembacaan Bibel, yaitu pembacaan secara
Politis dan Sukuisme dari Zionisme, dan pembacaan secara spiritualis dan
Universalis dari nabi-nabi.
“Kami menolak
secara total segala inisiatif yang bertujuan ke arah penciptaan sebuah negara
Yahudi. Usaha-usaha semacam ini dapat mengangkat ke permukanaan sebuah konsepsi
yang salah mengenai misi Israel... bahwa nabi-nabi Yahudi adalah orang pertama yang
memproklamirkan... Kami menyatakan bahwa tujuan dari Judaisme bukan politis
ataupun nasionalis, tetapi spiritual... Judais mencita-citakan suatu masa
messianik di mana semua manusia akan mengakui berada pada satu komunitas besar
dalam rangka pendirian Kerajaan Tuhan di Bumi.” (Conference Centrale des rabbins
Americains “konfrensi sentral Rabi-rabi Amerika’, Yearbook VII, 1897, hlm. XII.)
Begitulah reaksi
pertama dari organisasi-organisasi Yahudi yang tersebar mulai dari Jerman,
Prancis, Austria, maupun London.
Oposisi terhadap
Zionisme ini terinspirasi dari ketaatan pada spiritualis keimanan agama Yahudi
yang tidak berhenti dikumandangkan bahkan seusai Perang Dunia II. Dengan memanfaatkan
PBB, rivalitas antarbangsa, terutam sekali sokongan tak bersyarat sari AS,
Zionisme israel berhasil menempatkan dirinya sebagai sebuah kekuatan dominan,
berkat lobi-lobinya, membalikan kecendrungan ide dan memenangkan (dalam opini)
politik kekuatan Israelo-Zionis dalam melawan tradisi kenabian yang
mengagumkan. Walaupun demikian, Zionisme tidk berhasil membungkam kritik-kritik
besar yang berasal dari tokoh-tokoh besar spiritual.
Martin Buber,
salah satu suara terbesar Yahudi di abad ini, yang tidak berhenti selama
hidupnya hingga meninggalnya di Israel, mengungkapkan penurunan martabat dan
bahkan pembalikan dari Zionisme keagamaan menjadi Zionisme Politik.
Di New York,
Martin Buber menyatakan “perasaan yang saya alami enam puluh tahun yang lalu
adalah seperti yang saya alami saat ini. Saya mengaharapkan agar nasonalisme
ini tidak mengikuti jalan nasionalisme yang lain dengan memulai harapan besar
dan mengalami kemerosotan hingga menjadi egoisme suci, bahkan berani seperti
Mussolini yang memproklamirkan dirinya sebagai sacro egosime, seolah-olah
egosime kolektif dapat menjadi lebih suci dari egosime individual. Ketika kembali
ke Palestina, persoalan yang menentukan adalah: inginkah anda datang ke sini
sebagai kawan, saudara, dan anggota masyarakat bangsa Timur Tengah atau sebagai
wakil kolonialisme dan imperialisme?
Bersambung...
Disadur dari beberapa sumber
dan buku Roger Garaudy
