- Diposting oleh : Gerby Novario
- pada tanggal : Mei 31, 2017
Agresi Militer Belanda I
"Perjuangan Rakyat Indonesia Menentang Neokolonialisme Belanda"
Oleh: Kms. Gerby Novario
Pendahuluan
Pada bulan Oktober 1946 telah dilaksanakan
perundingan-perundingan hingga disepakati suatu gencatan senjata di Jawa
dan Sumatera. Pada bulan November 1946, di Linggajati (didekat Cirebon)
dilaksanakan persetujuan yaitu “persetujuan Linggajati”, yang isinya adalah
sebagai berikut:
- Pemerintah belanda mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera.
- Pemerintah Indonesia dan Belanda bersama-sama akan membentuk suatu negara demokrasi
- federal yang berdaulat, yaitu Republik Indonesia Serikat, terdiri dari tiga negara bagian, yaitu: Republik Indonesia (Jawa dan Sumatera), Negara Bagian Kalimantan, dan Negara Indonesia Timur (meliputi semua wilayah Indonesia lainnya, yaitu wilayah-wilayah yang dulu termasuk dalam Negara Hindia Timur Belanda, terbentang dari Jawa Timur sampai dengan Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tenggara)
- Pemerintah Indonesia dan Belanda akan bekerjasama membentuk suatu Uni Indonesia-Belanda, terdiri dari Negeri Belanda (meliputi Negeri Belanda, Suriname, Curacao), dan Republik Indonesia Serikat. Uni itu akan diketuai oleh Ratu Belanda.
- Uni Indonesia-Belanda dan Republik Indonesia Serikat akan dibentuk sebelum tanggal 1 Januari 1949 dan Uni tersebut akan menentukan sendiri badan-badan perwakilannya untuk mengatur masalah-masalah kepentingan bersama di negara-negara anggota, terutama masalah luar negeri.
- Akhirnya persetujuan itu menjamin bahwa kedua belah pihak akan mengurangi kekuatan pasukannya masing-masing dari wilayah Indonesia, tetapi secepatnya dan konsisten dengan menjaga hukum dan ketertiban, serta menjamin kedaulatan Republik atas semua tuntutan bangsa-bangsa asing untuk memperoleh ganti rugi dan mengelola hak-hak serta milik mereka di dalam wilayah-wilayah Republik. (Kahin, George McTurnan 1995:247-248)
Namun persetujuan perdamaian ini hanya berlangsung
singkat. Kedua belah pihak saling tidak mempercayai dan mengesahkan persetujuan
itu sehingga menimpulkan pertikaian-pertikaian politik yang sengit mengenai
konsesi-konsesi yang telah dibuat. Setelah selesai perundingan di
Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya
di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan
mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15 –
25 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang
pada 1 Oktober 1946. Kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar
tanggal 18 – 24 Desember 1946, dimana kemudian dibentuk negara Indonesia
Timur. Tindakan Van Mook membenarkan keragu-raguan pemerintah dan
rakyat Indonesia tentang kesetiaan Belanda dalam melaksanakan persetujuan
Linggajati. Perundingan Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk
mendatangkan pasukan yang lebih banyak dari negerinya.
Perundingan serta penandatanganan
perjanjian Renville merupakan salah satu perundingan yang dilaksanakan antara
Indonesia dengan Belanda yang dilaksanakan di atas kapal pengangkut pasukan
Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”. Perundingan ini diwakili oleh
kedua delegasi, yang di mana perwakilah dari delegasi Indonesia adalah Mr. Amir
Syarifudin, sedangkan perwakilan dari delegasi Belanda adalah R. Abdulkadir
Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda.
Pada dasarnya perundingan ini
dilaksanakan atas usul dewan PBB dan KTN (Komisi Tiga Negara) yang menginginkan
upaya perdamaian dan menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Belanda yang
seringkali mengalami pertikaian. Di mana penyebab awal serangkaian pertikaian
ini disebabkan karena Belanda enggan untuk mengakui kedaulatan kemerdekaan
Indonesia. Namun latar belakang dilaksanakannya perundingan Renville tidak akan
terlepas dari adanya penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia, di
mana peristiwa ini seringkali disebut sebagai “Agresi Militer Belanda Pertama”
yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 sampai dengan 4 Agustus 1947.
Latar Belakang Agresi Militer I
"Operatie
Product (bahasa Indonesia: Operasi Produk)
atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda
I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik
Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi
militer ini merupakan bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam
rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari
sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran
dari hasil Perundingan Linggajati.
Sedangkan Agresi
Militer Belanda II atau Operasi Gagak adalah operasi
militer Belanda kedua yang terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali
dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta
penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.
Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia di Sumatera yang dipimpin oleh Sjafrudin Prawiranegara.
Agresi
militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda akibat
perbedaan penafsiran terhadap ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak
Belanda cenderung menempatkan Indonesia sebagai negara persekmakmuran dengan
Belanda sebagai negara induk. Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh
mempertahankan kedaulatannya, lepas dari Belanda.
Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer I
Adapun tujuan Belanda mengadakan agresi
militer I yaitu sebagai berikut:
Tujuan
politik, mengepung
ibu kota Republik Indonesia dan menghapus kedaulatan Republik Indonesia dan menguasai
kembali Indonesia sebagai tanah jajahan untuk dijadikan wilayah persemakmuran
kerajaan Belanda dibawah kekuasaan Belanda.
Tujuan ekonomi,
merebut pusat-pusat penghasil makanan dan bahan ekspor.
Tujuan
militer, menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Jika
fase pertama dapat dicapai dengan baik, maka fase kedua, yaitu fase
penghancuran RI secara sempurna akan dapat dilakukan. Namun agresi militer
Belanda I ternyata tidak berhasil mencapai tujuan fase pertama. Ibukota RI
memang terkepung dan hubungan ke luar negeri sulit karena pelabuhan-pelabuhan
penting dikuasai oleh Belanda. Ekonomi RI mengalami kesulitan pula karena
daerah RI yang merupakan penghasil beras jatuh ke tangan Belanda. Tetapi dalam
usahanya menghancurkan TNI, Belanda mengalami kegagalan.
TNI
dalam Perang Kemerdekaan I mempraktekkan sistem pertahanan linear
(mempertahankan garis pertahanan) yang ternyata tidak efektif, sehingga TNI
terusir dari kota-kota. Akan tetapi TNI tidak mengalami kehancuran, lalu
bertahan di desa-desa. Kelak dalam Perang Kemerdekaan II TNI mempraktekkan
siasat perang rakyat semesta dengan bergerilya.
Kronologis Terjadinya Agresi Militer I
Sesudah penandatanganan Persetujuan
Linggarjati, Belanda berusaha keras memaksakan interpretasi mereka sendiri dan
berjalan sendiri untuk membentuk negara-negara bagian yang akan menjadi
bagian dari negara Indonesia Serikat, sesuai dengan keinginan mereka. Hal
ini diawali dengan konferensi yang diselenggarakannya di Malino, Sulawesi
Selatan, dan kemudian di Denpasar, Bali. Di sana mereka berhasil membentuk
negara boneka Indonesia Timur dengan dibantu oleh orang-orang yang pro Belanda
seperti Sukawati dan Anak Agung Gde Agung. Anak Agung Gde memang sejak awal
sudah memusuhi pemuda-pemuda pro Republik di daerahnya, serta mengejar-ngejar
dan menangkapinya.
Memang tujuan utama Belanda penandatanganan
Persetujuan Linggarjati ialah menjadikan negara Republik Indonesia yang sudah
mendaptkan pengakuan de facto dan juga de jure oleh beberapa negara, kembali
menjadi satu negara bagian saja seperti juga negara-negara boneka yang
didirikannya, yang akan diikutsertakan dalam pembentukan suatu negara Indonesia
Serikat. Langkah Belanda selanjutnya ialah memajukan bermacam-macam tuntutan
yang pada dasarnya hendak menghilangkan sifat negara berdaulat Republik dan
menjadikannya hanya negara bagian seperti negara boneka yang diciptakannya di
Denpasar. Yang menjadi sasaran uatamanya ialah menghapus TNI dan
perwakilan-perwakilan Republik di luar negeri, karena keduanya merupakan
atribut negara berdaulat.
Semua tuntutan Belanda ditolak. Sementara itu
keadaan keuangan Belanda sudah gawat, dan kalau masalah Indonesia tidak cepat
diselesaikan maka besar kemungkinan Belanda akan bangkrut. Agresi militer
pertama dilakukan Belanda berlatar dua pokok di atas, yaitu melenyapkan
Republik Indonesia sebagai negara merdeka dengan menghilangkan semua atribut
kemerdekaannya, dan keadaan keuangan Belanda yang sangat gawat.
Dalam serangan Belanda yang pertama itu
mereka bermaksud hendak menduduki Yogyakarta yang telah menjadi ibu kota
perjuangan Republik Indonesia, dan menduduki daerah-daerah yang penting bagi
perekonomian Belanda, yaitu daerah-daerah perkebunan, ladang minyak dan batu
baik di Sumatera maupun di Jawa. Usaha ini untuk sebagian berhasil; mereka
berhasil menduduki daerah-daerah perkebunan yang cukup luas, di Sumatera Timur,
Palembang, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari hasil penjualan produksi
perkebunan-perkebunan yang masih terkumpul, mereka mengharapkan mendapatkan
uang sejumlah US$ 300 juta, sedangkan biaya agresi militer diperhitungkan akan
memakan US$ 200 juta, jadi masih ada ”untung” US$ 100 juta. Sasaran yang satu
lagi, yaitu menduduki Yogyakarta tidak tercapai, karena pada tanggal 4 Agustus
1947 Dewan Keamanan memerintahkan penghentian tembak menembak. Selanjutnya PBB
membentuk Komisi PBB yang terdiri atas tiga negara: satu dipilih oleh
Indonesia, satu oleh Belanda dan yang satu lagi dipilih bersama. Komisi Tiga
Negara ini terdiri atas Amreika Serikat, Australia dan Belgia. Sjahrir memilih
Australia, dan bukan India, karena India sudah dianggap oleh dunia sebagai pro
Indonesia, sedangkan Australia adalah negara bangsa kulit putih, yang dianggap
lebih obyektif pendiriannya dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Perkiraan Belanda dengan mengadakan agresi
militernya yang pertama meleset sama sekali; karena tanpa diperhitungkan sejak
semula, bahwa Dewan Keamanan PBB akan bertindak atas usul India dan Australia.
India dan Australia sangat aktif mendukung Republik di dalam PBB, di mana Uni
Soviet juga memberikan dukungannya.
Akan tetapi, peranan yang paling penting akhirnya dimainkan oleh Amerika
Serikat. Mereka yang menentukan kebijakan Belanda, bahkan yang lebih progresif
di antara mereka, merasa yakin bahwa sejarah dan pikiran sehat memberi mereka
hak untuk menetukan perkembangan Indonesia, tetapi hak ini hanya dapat
dijalankan dengan menghancurkan Republik terdahulu. Sekutu-sekutu
utama negeri Belanda terutama Inggris, Australia, dan Amerika (negara yang
paling diandalkan Belanda untuk memberi bantuan pembangunan kembali di masa
sesudah perang) tidak mengakui hak semacam itu kecuali jika rakyat Indonesia
mengakuinya, yang jelas tidak demikian apabila pihak Belanda harus menyandarkan
diri pada penaklukan militer. Mereka mulai mendesak negeri Belanda supaya
mengambil sikap yang tidak begitu kaku, dan PBB menjadi forum umum untuk
memeriksa tindakan-tindakan Belanda.
Untuk pertama kali sejak PBB didirikan pada
tahun 1945, badan ini mengambil tindakan mengentikan penyerangan militer di
dunia dan memaksa agresor agar menghentikan serangannya. Belanda yang
menginginkan supaya masalah Indonesia dianggap sebagai suatu persoalan dalam
negeri antara Belanda dan jajahannya, telah gagal, dan masalah
Indonesia-Belanda menjadi menjadi masalah internasional. Kedudukan Republik
Indonesia menjadi sejajar dengan kedudukan negara Belanda dalam pandangan dunia
umumnya.
Dampak Agresi Militer I bagi Bangsa
Indonesia.
Dampak yang diperoleh bangsa Indonesia akibat
adanya agresi militer I oleh pihak Belanda yaitu sempat dikuasainya beberapa daerah-daerah
perkebunan yang cukup luas, di Sumatera Timur, Palembang, Jawa Barat dan Jawa
Timur. Meski PBB telah turut membantu mengatasi agresi militer yang dilakukan
Belanda terhadap Indonesia dengan diadakan penghentian tembak menembak, tidak
berarti bahwa tindakan militer Belanda langsung terhenti. Mereka terus-menerus
mengadakan gerakan pembersihan untuk mengamankan dareah-dareah yang telah
didudukinya. Dalam gerakan pembersihan ini sering pula terjadi tindakan kejam
oleh pasukan Belanda, terutama di dareah-daerah yang sudah mereka duduki namun
tidak dapat dikuasai, umpamanya dareah sekitar Krawang-Bekasi
Di sekitar Bekasi beroperasi pasukan kita
yang dipimpin oleh Lukas Kustrayo. Setelah pembentukan BKR ia langsung
bergabung, dan pasukan yang dibentuknya beroperasi di sekitar Bekasi. Setelah
Belanda meyerang pada bulan Juli 1947 Lukas tetap beroperasi di sana dan tetap
menganggu kehadiran Belanda di daerah itu, juga setelah diadakan pengehentian
tembak-menembak. Kegiatan Lukas sangat menjengkelkan Belanda, sehingga Lukas
diberi julukan ”Tijger van West Jawa” (Harimau Jawa Barat). Belanda
terus-menerus berusaha mengejar Lukas dan pasukannya, tetapi selalu tidak
berhasil. Setelah mereka mengetahui bahwa Lukas bermarkas di desa Rawagede,
mereka menyerbu desa itu pada tanggal 9 Desember 1947, dan lagi-lagi Lukas dan
pasukannya lolos. dalam kemarahan dan frustasi karena usaha mereka tidak
berhasil, pasukan Belanda menembaki rakyat desa Rawagede secara membabi buta
dan membunuh 491 orang dewasa dan anak-anak. Kekejaman Belanda ini tidak pernah
kita ungkapkan ke dunia luar, karena pada waktu itu memang kita tidak mempunyai
aparat untuk melakukanya.
Kekejaman Belanda lain yang dapat disebut
adalah pembantaian rakyat Sulawesi Selatan pada bulan Januari 1948 oleh pasukan
Kapten Wasterling, yang juga tidak pernah dihukum. Juga peristiwa kapten api maut di Jawa Timur, ketika prajurit-prajurit Republik
Indonesia yang tertawan oleh Belanda diamsukkan dalam gerbong kereta api yang
kemudian ditutup rapat tanpa ventilasi, sehingga semua tawanan mati lemas
karena kepanasan dan kehabisan udara.
Pertempuran
Rakyat Sumsel pada Agresi Militer I Belanda
Front
Pertempuran Muara Enim
Pada
tanggal 21 julin 1947 serdadu Belanda melancarkan serangan melalui semua jalur yang
didukung oleh pesawat udara. Hampir semua lokasi pertahanan Bridge Pertempuran
TNI dapat diterobos dalam waktu satu hari. Namun untuk dapat menguasai
Prabumulih secara keseluruhan pasukan Belanda baru dapat merebutnya dari
Pasukan Resiment XLV pada tanggal 22 Juli 1947 pukul 08.00 pagi.
Adanya
perlawanan dan pertahanan yang gigih yang dilakukan oleh pasukan TNI dan laskar
di Prabumulih dan sekitarnya, menyebabkan pasukan Belanda dari arah Baturaja
mencoba untuk menggunting pertahanan TNI-Subkoss dan pemuda laskar dengan dua
jalur. Pertama dari arah Baturaja kemudian berpencar dua, yang satu ke arah
Semendo Area dan satu lagi ke arah Tanjung Enim, dan Jalur kedua, pasukan
Belanda masuk melalui Suban Jeriji .
Front
Pertempuran di Lahat Selama Agresi Militer I Belanda
Setelah
pertempuran lima hari lima malam, markas subkoss berkedudukan di Lahat.
Sedangkan markas Brigade Garuda merah berada di Prabumulih.Kedudukan markas
sukoss di Lahat tidaklah berlangsung lama, karena pada bulan juli 1947 Belanda
melakuakn Agresi Militernya yang pertama.Markas subkoss terpaksa dipindahkan
kembali ke Lubuk Linggau.Begitu pula markas Brigade Garuda Merah akhirnya
dipindahkan dari Prabumulih ke Muara Beliti. Pemindahan personil dan
perlengkapan markas subkoss ke Lubuk Linggau dilakukan dengan angkutan kereta
api.
Sebelum
Belanda melakukan Agresi Militer 1, untuk mempertahankan daerah Lahat
dibentuklah Brigade Garuda Dempo yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Harun Sohar,
dan kemudian digantikan oleh Kolonel Hasan Kasim, membawahi tiga daerah
pertahanan, yaitu
- Daerah Lematang – Kikim dipimpin oleh Letnan Kolonel Harun Sohar kemudian diganti oleh Mayor Sai Husin
- Daerah Semendo dipimpin oleh Kapten Hamid Jemair dan
- Daerah Sukarame dipimpin oleh Letnan Satu Yahya Bahar
Daerah Lematang – Kikim
terbagi atas tiga sektor yaitu :
Sektor
I : Tinggi Hari dipimpin oleh Letnan satu Hutabarat dengan pos nya di Tinggi
Hari Gumay, sedangkan daerah operasinya Kuba, Jati, Muara Siban, Selangis, dan
Lahat.
Sektor
II : Dipimpin oleh Letnan satu Nahwi daerah operasinya Pagar Gunung dan
sekitarnya.
Sektor
III : Dipimpin oleh Kapten A. Satar, daerah operasinya tanjung Mulak, Mingkik,
pulau pinang dan sekitarnya.
Pertempuran
di OKU
Sekitar
awal bulan Agustus 1947 terjadi suatu peristiwa yang tidak dapat dilupakan
yaitu pencegatan kereta api oleh pasukan TNI-Subkoss bersama-sama rakyat yang
dipimpin oleh seorang bekas serdadu Jepang yang bersimpati kepada pejuang
pasukan TNI-Subkoss bernama Kemas Nanang. Pencegatan ini terjadi di antara
halte Metur dengan stasiun Peninjauan, ketika sebuah kereta api membawa pasukan
Belanda yang datang dari Palembang menuju Baturaja dicegat dan diserang, salah
satu gerbong yang penuh dengan pasukan Belanda dapat diledakkan dengan lemparan
sebuah granat tangan sehingga banyak menimbulakan korban tewas maupun luka-luka
dipihak pasukan Belanda.
Terjadilah
tembak-menembak dengan pasukan Belanda, tetapi pasukan TNI-Subkoss setelah
menyerang lalu mundur dan menghilang masuk hutan. Korban di pasukan TNI-Subkoss
tidak ada, sedangkan korban yang diderita oleh pasukan Belanda cukup banyak,
Komandan pasukan Belanda memutuskan bahwa sebagian pasukan Belanda meneruskan
perjalanan ke Baturaja dan sebagian lagi ke Palembang dengan membawa korban
yang tewas dan luka-luka.
Perjuangan Bangsa Indonesia Terhadap Agresi
Militer Belanda
Taktik Perjuangan Untuk
Menghadapi Belanda
Adapun
taktik perjuangan untuk menghadapi Belanda yang dikemukakan Simbolon antara
lain sebagai berikut :
- Tentara Belanda memakai taktik penetrasi dengan mechanised spercheads, diikuti oleh pasukan-pasukan yang bermotor. Dengan sendirinya menghendaaki jalan-jalan atau openvelden untuk menggerakan spearheads tadi.
- TNI-Subkoss harus berusaha untuk menghalang-halangi kemajuan spearheads tadi dengan jalan merusak jalan-jalan, jembatan-jembatan dan sebagainya untuk menghambat musuh, agar tidak dapat masuk ke daerah pertahanan TNI-Subkoss.
- Taktik yang dipergunakan Belanda ialah untuk menghancurkan dan mengacau pertahanan linier dan statis. Dengan sendirinya, bila speahbeads sudah lolos dan maju dengan cepat untuk mendapat vitale punten, pertahanan akan pecah seperti terjadi di Payakabung.
- Taktik bumi hangus akan dilakukan seluas-luasnya dalam daerah-daerah operasi.
- Taktik-taktik diatas ditambah dengan taktik khusu, yaitu taktik Gerilya.
Keampuhan Strategi
Diplomasi
Harus daikui, TNI mengalami pukulan berat
berat saat agresi militer Belanda I itu. Akan tetapi, kekalahan itu tidak
menyurutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.Ketika itulah perjuangan
diplomasi memegang peranan penting. Tanpa kenal lelah, para tokoh Indonesia di
luar negeri membela kepentingan Indonesia. Mereka berusaha menunjukkan kepada
dunia internasional bahwa Indonesia layak dan mampu merdeka dan berdaulat.
Keberhasilan perjuangan diplomasi terbukti
dari munculnya reaksi keras terhadap tindakan agresi militer Belanda. India dan Australia
mengajukan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB.Amerika
Serikat menyerukan agar Indonesia dan Belanda menghentikan permusuhan Polandia
dan Uni Soviet mendesak agar pasukan Belanda ditarik dari wilayah RI. Di tengah
reaksi dunia internasional, pada tanggal 3 Agustus 1947, Belanda menerima
resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan tembak-menembak.
Perundingan
Renville
Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk Commite
of Good Offices (Komite Jasa-jasa Baik). Komite
itu kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara(KTN).
Anggota KTN terdiri atas wakil Australia, Richard Kiby, wakil
Belgia, Paul van Zeeland, dan wakil Amerika Serikat, Frank
Graham. Terpilihnya Australia dalam KTN merupakan permintaan pihak
Indonesia, sedangkan terpilihnya Belgia merupakan permintaan pihak Belanda.
Kemudian Australia dan Belgia menentukan anggota KTN ketiga, yaitu Amerika
Serikat.
Tugas pokok KTN adalah mecari penyelesaian
damai terhadap masalah perselisihan antara Indonesia dan Belanda. Untuk itu,
KTN menawarkan perundingan kepada kedua negara. Amerika Serikat mengusulkan
tempat pelaksanaan perundingan yang di luar wilayah pendudukan Belanda maupun
wilayah Republik Indonesia. Tempat yang dimaksud adalah sebuah kapal AS bernama
Renville, yang sedang berlabuh di Tanjung Priok. Perundingan itu terkenal
dengan sebutan Perundingan Renville.
Dalam perundingan itu, delegasi Indonesia
dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh
Abdullah Wijoyoatmojo. Perundingan berlangsung alot karena baik Indonesia
maupun Belanda cenderung berpegang teguh pada pendirian masing-masing.
Akhirnya, pada tanggal 17 Januari 1948, hasil Perundingan Renville disepakati
dan ditandatangani.
Hasil Perundingan Renville:
- Penghentian tembak-menembak.
- Daerah-daerah di belakang garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI.
- Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan melalui plebisit terlebih dahulu.
- Dalam Uni Indonesia-Belanda, Negara Indonesia Serikat akan sederajat dengan Kerajaan Belanda.
Akibat Perundingan Renville, wilayah Indonesia yang diakui menjadi
semakin sempit. Itulah sebabnya, hasil Perundingan Renville mengundang reaksi
keras dari kalangan partai politik, hasil perundingan itu memperlihatkan
kekalahan perjuangan diplomasi. Bagi TNI, hasil prundingan itu mengakibatkan
harus ditinggalkannya sejumalh wilayah pertahanan yang telah susah payah
dibangun. Ketidakpuasan yang semakin memuncak terhadap hasil Perundingan
Renville mengakibatkan Kabinet Amir Starifuddin jatuh.
Penutup
Agresi militer Belanda I diawali oleh
perselisihan Indonesia dan Belanda akibat perbedaan penafsiran terhadap
ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda cenderung menempatkan
Indonesia sebagai negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai negara induk.
Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh mempertahankan kedaulatannya, lepas
dari Belanda.
Agresi militer Belanda yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1947,
yang sasaran utamanya adalah di tiga tempat yaitu tiga tempat, yaitu Sumatera
Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sasaran mereka adalah kawasan perkebunan tembakau, di Jawa Tengah
mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, serta wilayah di mana
terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Agresi tersebut mendapat perhatian dari Dewan Keamanan PBB serta
beberapa negara yang juga mendukung Indonesia. Hingga akhirnya dibentuklah Committee
of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih
dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara,
yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh
Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral.
Penyelesaian agresi militer yang pertama ini yaitu dengan
perjanjian Renville. Perundingan serta penandatanganan
perjanjian Renville merupakan sebuah perundingan yang dilakukan antara pihak
delegasi Indonesia dengan pihak delegasi Belanda, yang mana perundingan ini
dilakukan di atas sebuah kapal perang Angkatan Laut milik Amerika Serikat yang
sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Adapun penyebab dilaksanakannya perundingan
ini, tidak terlepas dari perundingan sebelumnya yang telah dilaksanakan berupa
perjanjian Linggajati dan penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap
wilayah-wilayah yang ada di Republik, di mana pada akhirnya peristiwa tersebut
terkenal dengan peristiwa Agresi Militer Belanda Pertama yang terjadi pada
tanggal 21 Juli 1947.
Mengetahui penyerangan yang tengah
dilakukan Belanda terhadap Indonesia, Dewan Keamanan PBB mengutus sebuah komisi
guna meredakan serta membantu menyelesaikan segala pertikaian dan sengketa yang
terjadi antara Indonesia dan Belanda. Komisi tersebut terkenal dengan sebutan
KTN (Komisi Tiga Negara) yang beranggotakan Australia, Belgia, dan Amerika
Serikat. Untuk meredakan dan mencari jalan keluar dalam penyelesaian sengketa
antara Indonesia dan Belanda, Dewan Keamanan PBB dan KTN memutuskan untuk
membuat sebuah perundingan baru, yang pada akhirnya perundingan tersebut diberi
nama Perundingan Renville, yang dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 1947
sampai dengan 17 Januari 1948 di atas sebuah kapal perang milik Amerika
Serikat.
Daftar Pustaka
Nasution, AH. 1976. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia.
Jilid 9, Sejarah-AD, Bandung: Angkasa.
O. E. Engelen, dkk. 1997. Lahirnya Satu
Bangsa dan Negara. Yogyakarta:
Universitas
Indonesia.
Poesponegoro. Marwati Dj. 1884. Sejarah Nasional Indonesia
Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Sudharmono. (1981). 30 Tahun Indonesia
Merdeka 1945-1949. Jakarta: Sekretariat Republik Negara Indonesia.
Yusuf, Syafruddin dkk. 2003. Sejarah dan Peranan SUBKOSS Dalam Perjuangan
Rakyat SUMBAGSEL (1945 – 1950). Palembang : CV. Komring Jaya Putra
Internet:
Wikipedia (2013). Sejarah Indonesia
(1945–1949). [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281945%E2%80%931949%29.
Diakses tanggal 1 November 2014, pukul 18.31 WIB.
Eryadi. Intisari Pengetahuan Sosial
Lengkap. [Online]. Tersedia:
http://books.google.co.id/books?id=gtkd45lkfm8C&pg=PT345&lpg=PT345&dq=wilayah+Indonesia+diakui+berdasarkan+garis+demarkasi+garis+van+Mook&source=bl&ots=R3uNI0K8rt&sig=34IhWpdeyGF5bNTmYOXT7oTv50k&hl=en&sa=X&ei=4IjeUeXFBs_orQfWnYGgBA&redir_esc=y.
Diakses tanggal 1 November, pukul 21.08 WIB
Gani Abdul Yusra Habib. (2010). Deru
Radio Rimeraya. [Online]. Tersedia:
http://cibro-gayo.blogspot.com/2010/03/deru-radio-rimeraya-expo-budaya-leuser.html
(13
Juli 2013). Diakses tanggal 1 November, pukuk 22.21 WIB.
Juli 2013). Diakses tanggal 1 November, pukuk 22.21 WIB.
