- Diposting oleh : Gerby Novario
- pada tanggal : Mei 28, 2017
Ramadhan, Juni 1821
"Perjuangan Sultan Palembang Menentang Kolonialisme"
Oleh: Dudy Oskandar
Juni
1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.
Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan
oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan
ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan
harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari
Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara
tiba-tiba menyerang Palembang.
Konvensi
London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan kembali kepada Belanda
semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak
menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah
terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah
Raffles digantikan oleh John Fendall.
Belanda
kemudian mengangkat Edelheer Mutinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan
pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Husin
Diauddin. Tindakannya berhasil, SMB II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni
1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania
berhasil dibujuk oleh Mutinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.
Pada
dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu.
Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan
Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah
Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia.
Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya.
Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan
dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB
mulai menyerang Belanda
Pertempuran
melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Mutinghe) pecah
pada 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu,
di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga
keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai
akhirnya Mutinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda
tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal Van der Capellen
merundingkannya dengan Laksamana JC Wolterbeek dan Mayjen Herman Merkus de Kock
dan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan
dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian
mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.
SMB
II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan
sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum
masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga
sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.
Pertempuran
sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas
perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari
tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan
dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819.
SMB
II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan.
Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota,
Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Ahmad
Najamuddin III. SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab
benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga sultan.
Setelah
melalui penggarapan bangsawan dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan
spionase, serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke
Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda
sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada 11 Juni 1821
hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni
ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk
kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan.
Bulan
Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu
dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan
kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari
Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu
dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda
secara tiba-tiba menyerang Palembang.
Serangan
dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu
orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal
25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821
berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah
kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.
Tanggal
13 Juli 1821, menjelang tengah malam, SMB II beserta keluarganya menaiki kapal
Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan
ke Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852.
Serangan
dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu
orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal
25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821
berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah
kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.
Tanggal
13 Juli 1821, menjelang tengah malam, SMB II beserta keluarganya menaiki kapal
Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan
ke Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852.
