- Diposting oleh : Gerby Novario
- pada tanggal : Juni 05, 2017
Soekarno - Hatta
"Menelusuri Pemikiran Dua Konseptor Bangsa"
Oleh: Yuli Wantini
Editor: Kms. Gerby Novario
Sebenarnya, sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga
tahun 1950-an, kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dikelola dengan berhasil.
Prestasi ini disimbolisasikan oleh keberadaan Dwitunggal Soekarna-Hatta, yang
bukan sekedar merupakan jaminan simbolis, akan tetapi dalam batas tertentu
bahkan riil, bahwa penduduk luar Jawa telah menjadi mitra dengan posisi yang
sejajar bagi orang-orang Jawa yang mendominasi penyelenggaraan kekuasaan
politik di Indonesia. Seora Indonesianis melukiskan keadaan ini dengan
mengatakan bahwa Soekarno sebagai mistikus Jawa dan eklektikus kawakan dan
Hatta sebagai puritan Sumatera telah salin melengkapi tidak hanya secara politis
melainkan juga secara primordial. Dwitunggal juga merepresentasikan persekutuan
antara Soekarno yang mewakili sinkretisme Jawa dan Hatta yang mewakili
merkantilisme Islam dari luar Jawa (Geertz, 1992: 104).
Sayangnya, menjelang pertengahan kedua tahun 1950-an
hubungan antara Soekarno dan Hatta yang semula harmonis mulai diwarnai
ketegangan yang terus meningkat dan sulit diperdamaikan, sehingga Hatta
kemudian memutuskan untuk meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden pada akhir
1957. Pertentangan antara Soekarno dan Hatta menarik untuk dijelaskan, sebab
dengan melihat posisi simbolis Hatta maka pengunduran dirinya dari jabatan
Wakil Presiden mempunyai implikasi yang tidak sederhana dalam kehidupan
Indonesia pada waktu selanjutnya. Tindakan Hatta dapat ditafsirkan sebagai
bentuk penarikan dukungan penduduk luar Jawa terhadap legitimasi pemerintah
pusat. Selain itu, sejak Hatta meletakkan jabatan, Soekarno mulai menjadi
satu-satunya figur sentral dan poros kehidupan nasional Indonesia, keseimbangan
politis terganggu, dan munculnya ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.
Setiap pemegang kekuasaan tentu akan menggunakan
kekuasaan untuk mengatur Negara dan dan rakyat baik secara politis maupun
sosial. Seperti dikatakan Flechteim, “social power is the sum total of those
capacity, relationships, and processes by which compliance of others is
secured...for ends determined by the power holder” ( Iver, 1961: 87).
Kekuasaan politik pada dasarnya merupakan bagian dari kekuasaan sosial yang
fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang mempunyai hak
untuk mengendalikan tingkah laku sosial, termasuk dengan menggunakan kekerasan.
Meskipun demikian, kekuasaan perlu dibatasi dengan etika
politik. Etika Politik menjadi dasar moral bagi politik karena harus
memperhatikan pada peran demokrasi dalam memberi legitimasi pada penguasa
politik. (Shapiro, 2003: 203) Etika politik adalah gerabang penjaga bagi
bangunan cita-cita perjuangan kebangsaan dan kenegaraan. (Baasir, 2003: xxxvii)
Etika mempunyai peran yang signifikan dalam mengeliminasi konflik dalam
berbagai kehidupan.
Kendati demikian, hubungan antara Soekarno dan Hatta
dapat dimasukkan ke dalam wilayah politik yang batasannya tidak hanya
didasarkan pada tata aturan, tetap juga hubungan kultural baik sebagai
keseluruhan atau pada bagian-bagian tertentu. Dua alasan dapat dikemukakan
untuk menjelaskan hal ini. Pertama, seperti telah disampaikan di muka,
Soekarno-Hatta tidak sekedar simbolisasi hubungan politis, tetap juga hubungan
kultural yang secara kasar masing-masing mewakili Jawa dan luar Jawa,
sinkretisme Jawa dan Islam puritan, dan mistisisme dan merkantilisme.
Unsur-unsur kebudayaan dalam konteks politik mencakup nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, dan sikapsikap emosional mengenai cara-cara menjalankan
pemerintahan.
Oleh karenanya, kebudayaan dalam konteks politik boleh
dianggap sebagai ekspresi untuk menunjukkan lingkungan emosi dan pendirian
sebagai tempat sistem politik itu berjalan. Tindakan politik ditentukan oleh
berbagai macam faktor seperti tradisi, ingatan sejarah, motif, norma, emosi,
dan simbol (Kavanangh, 1983: 4-5)
Kedua, dwitunggal Soekarno-Hatta adalah simbol Indonesia
itu sendiri, yang terbentuk sebagai sebuah masyarakat majemuk (plural society).
Istilah masyarakat majemuk telah digunakan oleh Furnivall untuk menggambarkan
situasi sosial di Burma dan Jawa pada masa kolonial. Di kedua tempat itu
orang-orang bumiputera, imigran Cina dan India, dan orang-orang Eropa hidup
bersama, tetapi kehidupan mereka tidak menyatu.
Pada satu sisi kemajemukan dapat menghasilkan daya dorong
ke arah kemajuan. Namun pada sisi yang lain kemajemukan dapat menimbulkan
gesekan-gesekan yang mengarah pada terjadinya konflik. Pergeseran-pergeseran
dalam hubungan antara Soekarno dan Hatta dapat digunakan untuk menunjukkan
potensi ganda pluralisme, baik sebagai kekuatan pembentuk integrasi nasional
maupun pemicu perpecahan. Masyarakat majemuk ditandai oleh adanya pembelahan
sosial yang berakar pada perbedaan etnisitas, ras, agama, dan geografis (Liddle,
1970: 4-5), atau yang oleh Geertz (1992: 82) disebut sebagai sentimen
primordial (primordial sentiment). Pada masa Orde Lama sentimen primordial
terekspresikan di dalam ‘aliran’ (ideological stream) yang bersumber dari
keyakinan agama dan nilai-nilai kultural. Aliran menciptakan ketergantungan dan
loyalitas massa terhadap pemimpin-pemimpin mereka dalam suatu pola hubungan
patron-klien (Antlöv and Cederroth, 1994: 5).
Berdasarkan hal ini, maka bagi para pendukungnya, baik
Soekarno maupun Hatta dapat dilihat sebagai patron. ‘Persekutuan’ yang berhasil
antara Soekarno dan Hatta dalam dwitunggal ditentukan oleh kemampuan mereka
untuk mengakomodasikan motivasi para pengikutnya untuk membangun negara baru.
Masyarakat di negara baru selalu diliputi oleh motivasi yang sangat kuat untuk
membangun identitas yang mengantarkan mereka untuk mendapatkan pengakuan umum
sebagai pihak yang turut bertanggung jawab dan mempunyai kontribusi yang
berharga terhadap negara. Mereka juga dilekati oleh semangat untuk membangun
negara modern yang efisien dan dinamis. Semangat ini mempunyai tujuan lebih
luas yang bersifat praktis, antara lain adalah pencapaian kemajuan, peningkatan
taraf hidup, penciptaan tatanan politis yang efektif, pembentukan keadilan
sosial, dan perebutan tempat untuk memainkan peran yang dianggap penting dalam
panggung politik. Hubungan harmonis yang diperlihatkan oleh dwitunggal sebelum
Hatta menyatakan pengunduran diri dari jabatan Wakil Presiden menunjukkan bahwa
Soekarno yang merepresentasikan Jawa masih dapat berjalan seiring dengan Hatta
yang merepresentasikan luar Jawa.
Bentuk
Negara
Soekarno seorang yang revolusioner, Hatta adalah seorang
yang reformis. Soekarno sangat gandrung dengan persatuan, sedangkan Hatta
memandang bahwa persatuan hanyalah sebagai alat unruk mencapai cita-cita
bangsa. Soekarno menghendaki bentuk negara kesatuan, sedangkan Hatta sangat
menginginkan bentuk negara serikat. Soekarno anti dengan model demokrasi
parlementer, sedang Hatta adalah seorang pendukung model demokrasi parlementer.
Soekarno berpandangan bahwa sistem pemungutan suara (voting) merupakan suatu
bentuk tirani mayoritas, namun Hatta menganggap voting merupakan bentuk paling
relistis bagi bangsa ini sebagai alat atau jalan untuk mencapai mufakat.
Demokrasi
Berbicara tentang interpretasi demokrasi
antara Soekarno dan Hatta memang terdapat perbedaan mendasar dari keduanya.
Jika Soekarno lebih menekankan pada pentingnya demokrasi yang berasal dari
budaya sendiri dan menolak demokrasi yang berasal dari Barat. Hatta lebih
sependapat pada bagian kedua, bahwa demokrasi di Indonesia tidak bisa terlepas
dari keberadaan demokrasi yang ada di Barat. Sebab baginya, proses transisi
demokrasi yang labil merupakan hal yang wajar terjadi pada negeri yang usianya
muda seperti Indonesia.
Namun, secara teoritis dalam prosesnya.
Soekarno memiliki paham yang hampir sama pada mulanya dengan Mohammad Hatta. Ia
menolak demokrasi yang sifatnya hanya politik. Karena bagi Soekarno demokrasi
politik, hanyalah memberikan sebuah ruang bagi rakyat untuk berpolitik dan
tidak cukup untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Demokrasi ini juga tidak
menjamin orang-orang kecil dalam bidang ekonomi. Buruh dapat diberlakukan
semaunya oleh majikan (Nazaruddin Sjamsuddin1988:41).
Perbedaan pendapat ini lebih jelas dapat kita
temui dalam tulisan Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” yang ditulis oleh
Hatta dalam Pandji Masyarakat. Ada poin penting yang menurut
penulis perlu kita pahami dalam tulisan ini yang menjadi akar perbedaan mendasar
antara perdebatan Soekarno dan Hatta mengenai demokrasi. Hatta (19960)
berpendapat dengan tegas bahwa, “Demokrasi bisa tertindas sementara karena
kesalahan sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan pahit, ia akan muncul
kembali dengan penuh keinsyafan. Ia akan kembali dengan tahapnya. Berlainan
dengan negeri lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat-urat di dalam
pergaulan hidup. Sebab itu, ia tidak dapat dilenyapkan selama-lamanya.
Memang jika penulis pahami. Anggapan Soekarno
yang terlalu phobia terhadap demokrasi yang labil cenderung telah menggerus
nilai-nilai demokratis dalam pemerintahan yang diemban olehnya. Meskipun
Soekarno memiliki anggapan mendasar mengenai Demokrasi Terpimpin adalah
demokrasi kekeluargaan dengan menganggap dirinya sebagai seorang kepala
keluarga yang harus tampil dalam menyelesaikan permasalahan yang tidak menemui
jalan mufakat dari anggota keluarga lainnya. Soekarno melupakan mengenai
bahayanya kekuasaan tanpa penyeimbang dan pengontrolan. Sikap inilah yang juga
pada akhirnya menjatuhkan wibawa seorang Soekarno di hadapan demokrasi yang
diciptakan oleh dirinya.
Memang jika diamati dari psikologi
kepemimpinan. Karakter dan pola kepemimpinan Soekarno dan Hatta memiliki
perbedaan yang mendasar. Hatta mempunyai pendirian yang lebih tegas. Tetapi
demi kepentingan keseluruhan, beliau suka mengalah. Jika perlu beliau bersedia
mengundurkan diri. Berbeda dengan Soekarno yang lebih cenderung menggunakan
perhitungan. Soekarno juga terkesan tidak terlalu mati-matian mempertahankan
apa yang secara ideologis dianggap benar, melainkan diperhitungkan terlebih
dahulu mana yang lebih bermanfaat (Sajuti Melik, 1981:78).
Kembali kepada masalah demokrasi. Menurut
Soekarno, demokrasi di Indonesia tidak akan pernah menemukan kata mufakat tanpa
adanya pemimpin yang mengarahkan dan menujukkan jalan kemana demokrasi itu akan
dibawa. Demokrasi di Indonesia lebih membutuhkan apa yang dikemukakan Ki Hajar
Dewantara dulu sebagaidemocratie met leiderschamp. Ini Akhirnya, membuat
Soekarno melontarkan gagasan di hadapan para pemimpin partai dan tokoh
masyarakat di Istana Merdeka pada 21 Februari 1957. Konsepsi ini berisi tiga
pokok utama dari Konsep Presiden Soekarno , diantaranya: 1. Sistem Demokrasi
Parlementer secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh karena
itu harus diganti dengan sistem Demokrasi Terpimpin, 2. Untuk pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang anggotanya
terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang
ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini mengetengahkan pula perlunya
pembentukkan “Kabinet Kaki Empat” yang mengandung arti bahwa keempat partai
besar, yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI, turut serta di dalamnya untuk
menciptakan kegotong royongan nasional, 3. Pembentukan Dewan Nasional yang
terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Tugas utama Dewan
Nasional ini adalah memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak
diminta.
Disinilah awal perdebatan muncul antara
Soekarno dan Hatta. Ketidaksetujuan Hatta terhadap ketidakberdayaan parlemen
akibat tidak memiliki kekuatan sebagai penyeimbang telah membuat Hatta memutar
haluan untuk tidak sejalan secara politik dengan Soekarno. Dalam sistem yang
dibuat oleh Soekarno dengan nama Demokrasi Terpimpin. Dengan berlandasakan
kepada program pembangunan yang kuat di bawah satu pimpinan , dan melepaskan
fungsi parlemen untuk membuat undang-undang, melainkan kepada Dewan Nasional
dan Dewan Perancang Nasional. Dalam sistem ini kekuatan Dewan Perwakilan Rakyat
hanyalah sebagai pemberi dasar hukum saja kerena keputusan berada di tangan
pemerintah. Tetapi, dalam kelanjutannya Demokrasi Terpimpin tidak lebih dari
‘kekuasaan diktator’ yang diusung oleh golongan-golongan tertentu.
Dalam pandangannya, Hatta berpendapat bahwa
meskipun demokrasi sudah tergerus oleh kediktatoran. Demokrasi tidak akan
pernah hilang dan tergerus. Mungkin ia akan tersingkir sementara, tetapi suatu
saat demokrasi akan muncul kembali di Indonesia. Ada dua keyakinan yang membuat
Hatta, berpendapat demikian, yaknipertama, cita-cita demokrasi yang
hidup dalam pergerakan kebangsaan di masa penjajahan dulu, yang memberikan
semangat kepada perjuangan kemerdekaan. Kedua,pergaulan hidup
Indonesia yang asli berdasarkan demokrasi, yang sampai sekarang masih terdapat
di dalam desa Indonesia.
Tetapi, dalam pandangannya yang pokok
mengenai demokrasi. Hatta, secara tegas menolak mengenai konsep dan asas
demokrasi Barat, dalam salah satu pidatonya di Universitas Sun Yat Sen di
Kanton pada 11 Oktober 1957, Hatta menyatakan dengan tegas bahwa di dalam
demokrasi Barat. Tidak ada nilai-nilai kesejahteraan bagi masyarakat dalam
bidang ekonomi. Yang ada hanyalah penindasan yang dilakukan oleh kaum
kapitalis. Dimana kelas yang satu ditindas oleh kelas yang lain, sehingga
menurut Hatta demokrasi atau persamaan tidak akan ditemui dalam demokrasi Barat.
Jadi dalam pemikiran Hatta, tampak bahwa
dirinya tidak ingin meniru demokrasi Barat. Dia ingin membangun demokrasi ala
Indonesia yang mempunyai watak dan karakter sendiri. Ciri-ciri khas demokrasi
Indonesia menurut pernyataan Hatta: “ . . .Tjita-tjita demokrasi
Indonesia adalah demokrasi sosial, . . .(di mana), tjita-tjita keadilan sosial
jang terbayang dimuka dijadikan program-program untuk dilaksanakan dalam
praktik hidup nasionaldi kemudian hari . . .”.
Hal-hal lain yang juga membedakan demokrasi
Barat dengan demokrasi di Indonesia menurut Hatta, dapat dilihat dalam lima
unsur demokrasi di Indonesia, yaitu: “rapat, mufakat, gotong-royong, hak
mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir.”
Ketika Indonesia merdeka, cita-cita demokrasi
sosial Indonesia yang diharapkan oleh Hatta tersebut telah dituangkan dalam
pembukaan UUD 1945, yang menggariskan tiga hal pokok, yaitu pertama, menyangkut
pernyataan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia, dimana kemerdekaan dilihat
sebagai hak-hak tiap bangsa dan adanya kewajiban bagi pemerintah untuk terlibat
dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Kedua, pernyataan tentang
berhasilnya tuntunan politik bangsa Indonesia adalah karena karunia Allah.
Dengan demikian ada pengakuan disini bahwa tanpa adanya berkat dari Tuhan Yang
Maha Esa Indonesia tidak akan merdeka. Ketiga, pernyataan
Pancasila sebagai filsafat atau ideologi negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Prikemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.
Ekonomi
Pemikiran perekonomian Soekarno sebagaimana
diungkap oleh Nazaruddin (1988), dimulai untuk pertama kalinya pada 1932. Alam
pemikiran ekonomi Soekarno juga mendapat pengaruh yang kuat dari
pemikir-pemikir sosialis Eropa. Hal ini dapat kita amati dalam tulisan-tulisannya
yang berjudulDemokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, Kapitalisme Bangsa
Sendiri?, Sekali lagi tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, atau Mencapai
Indonesia Merdeka.
Soekarno mengecam demokrasi Barat sebagai
demokrasi yang hanya memperhatikan aspek politik saja, tetapi tidak aspek
ekonominya. Katanya, Demokrasi yang hendak dicapai oleh revolusi Prancis
barulah demokrasi politik dan hak individu saja. Memang, pada kenyataannya
demokrasi yang hendak dicapai oleh revolusi ini adalah demokrasi dalam bidang
politik saja, sehingga tidak menyentuh aspek ekonomi yang mengakibatkan banyak
rakyat menderita.
Di samping itu, Soekarno juga mulai
memperhatikan perlu adanya penyesuaian penggunaan konsepsi dari tokoh-tokoh
pemikir sosialis Eropa tentang sosialisme dengan kondisi yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia. Soekarno mengganti istilah kaum melarat dan terpinggirkan,
Proletar menjadi kaum Marhaen. Istilah Marhaen adalah untuk menggambarkan
secara obyektif bagaimana kondisi sosial masyarakat Indonesia yang tertindas
oleh kaum penjajah.
Semangat nasionalisme yang akan mewarnai
Indonesia merdeka menurut Soekarno adalah sosio-nasionalisme, dimana
nasionalisme yang diterapkan haruslah nasionalisme yang dapat menyelamatkan dan
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menikmati rasa keadilan dan
kemakmuran. Nasionalisme masyarakat, sosio-nasionalisme yang dimaksud untuk
memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat, sehingga tidak ada kaum
tertindas, tidak ada lagi kaum yang sengsara. Sosio-nasionalisme ini menolak
sikap borjuisme.
Sementara itu yang dimaksud Soekarno dengan
sosio-demokrasi bahwa sosio-demokrasi itu muncul karena keberadaan
sosio-nasionalisme. Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi haruslah suatu
nasionalisme dan demokrasi yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan
negeri dan keberesan rezeki.
Untuk mencapai Indonesia yang merdeka maka
salah satu asas perjuangan adalah non kooperasi. Rakyat harus bergerak untuk
menghancurkan kapitalisme dan imperialisme melalui suatu pergerakan rakyat yang
radikal, yaitu oleh massa aksi. Setelah proses kemerdekaan nasional tercapai,
maka menurut Soekarno tidak akan ada lagi kapitalisme dan imperialisme. Lebih
lanjut Soekarno mengemukakan, bahwa semua perusahaan besar akan menjadi milik
rakyat Indonesia dan pembagian hasilnya berada di bawah pengawasan rakyat.
Sesuai dengan cita-cita sosial ekonomi
Soekarno tersebut, dalam pandangan Hatta, sosialisme dalam bidang ekonomi di
Indonesia merupakan perjumpaan dari cita-cita sosial demokrasi Barat dengan
sosialisme religius (Islam) dimana Marxisme sebagai pandangan hidup tetap
ditolak. Jadi, intinya Hatta memandang dalam konsep ekonominya bahwa menimba
keyakinan sosialis merupakan berita dari ilahi. Terlaksananya sosialis
(kemakmuran) dalam bidang ekonomi merupakan suatu tugas agama.
Memang Hatta, sebagai mana Soekarno sangat
mengagumi sosialisme. Karena menurutnya hanya melalui sosialisme lah kita bisa
menghendaki suatu pergaulan hidup dimana tidak ada lagi penindasan dan
penghisapan dan dijamin bagi rakyat bagi tiap-tiap orang kemakmuran dan
kepastian penghidupan serta perkembangan kepribadian. Dan hal ini, bagi Hatta
secara jelas tercantum dalam konsep sosialisme Islam, di mana Islam menuntut
dasar pelaksanaan sosialisme ini. Jadi intinya, dalam benak Hatta adanya proses
elaborasi konsep antara sosialisme dan Islam. Sebab, dalam hemat Hatta. Islam
dan sosialisme tidak bertentangan. Terlebih berbicara tentang kemaslahatan
rakyat.
Kebijakan di bidang Ekonomi pada masa
Soekarno yaitu diterapkannya Sistem benteng, dimana sistem ini
lebih dikenal sebagai sistem ekonomi Ali (Pribumi) & Baba (Tionghoa).
Sebenarnya sistem ekonomi ini lebih menguntungkan buat etnis tionghoa, akan
tetapi karena banyaknya kasus korupsi yang terjadi pada saat itu dan
berganti-gantinya kabinet membuat sistem ini kemudian dihentikan pada tahun
1954.
Bung Hatta sangat respek terhadap keberadaan
koperasi, dimana keberadaan badan ini sudah terbukti kebenarannya karena telah
melaksanakan sosialisme atau pelaksanaan ekonomi sosialis Indonesia. Sebagai
seorang sosialis Bung Hatta dituntut mampu menghidupkan sosialisme dengan
memberikan dorongan guna terintisnya jalan kesosialisme. Dengan tidak
meninggalkan citacita dan berkemauan menjadi pelopor dan pembimbingnya.
Pemikiran tentang PKI
Pemikiran Soekarno dari paham-paham kiri
seperti Marxisme dan Leninisme yang dia tuangkan lewat pemikiran marhaenisme
dan proletar. Kaitan Soekarno dengan PKI kenapa Soekarno melindungi PKI. Bukan
karena ia ingin berhadapan dengan TNI tapi karena dia selalu terpukau dengan
Leninisme dan Marxisme walaupun Soekarno bukan PKI.
Bung Hatta dikenal sebagai tokoh pemikir, yang tidak pernah
emosional dan sangat tajam analisanya. Karena beliau tahu tujuan PKI untuk
merebut kekuasaan dan jika tidak meyakinkan Soekarno dulu,
mereka tidak akan mendapat kekuatan.
