- Diposting oleh : Gerby Novario
- pada tanggal : Januari 23, 2018
Boedi Oetomo
"Energi Pergerakan Bangsa"
Oleh: Kms. Gerby Novario, Ayu Rizky Utami, dan Azuar Anas
Dengan semboyan hendak meningkatkan martabat rakyat.
Dilatarbelakangi situasi ekonomi yang memburuk di Pulau Jawa karena eksploitasi
kolonial dan westernisasi, seorang Priyai baru, dr. Wahidin Sudirohusodo
bangkit mengangkat kehormatan rakyat jawa dengan memberikan pengajaran. Ia
berusaha menghimpun dana beasiswa (study fond) untuk memberikan pendidikan
Barat kepada golongan Priyai Jawa.
Gambar. Mahasiswa STOVIA dalam proses pembelajaran
Propaganda yang dijalankan oleh dr. Wahidin tersebut
disambut oleh Soetomo, seorang mahasiswa School tot Opleiding van Indische
Arsten (STOVIA) atau Sekolah Dokter Jawa. Bersama rekan-rekannya dia mendirikan
Budi Utomo (BU) di Jakarta pada 20 Mei 1908.
Organisasi Budi Utomo ini sejak awal sudah menetapkan
bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura. Sejak kelahirannya
terdapat pro dan kontra. Kelompok kontra membuat organisasi tandingan yang
bernama Regent Bond, yang anggot-anggotany berasal dari kalangan bupati
pengatur status quo yang tidak ingin berubah. Adapun yang pro, seperti Tirto
Kusumo merupakan kalangan muda yang berpandangan maju.
Pada konres Budi Utomo yang diselenggarakan pada 3-5
Oktober 1908, Tirto Kusumo diangkat menjadi ketua pengurus besar. Hingga
diadakannya kongres yang pertama ini, BU telah memiliki tujuh cabang di
beberapa kota, yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya,
dan Ponorogo. Pada kongres di Yogyakarta ini, diangkatlah Raden Adipati
Tirtokoesoemo (mantan bupati Karanganyar) sebagai presiden Budi Utomo yang
pertama. Semenjak dipimpin oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota
baru BU yang bergabung dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga
banyak anggota muda yang memilih untuk menyingkir.
Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada
awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun
kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan
dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain,
Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua
orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan
perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik
semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang.
Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan
Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum
berpengalaman. Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna
nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang
memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan
ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia
sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja
pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang
kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik
Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan
sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu
pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes
Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda
(lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor
politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.
Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang
lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi
Utomo adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi,
orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme
Indonesia" tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik.
Dengan demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa,
Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa
pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa
sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain.
Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi
hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota. Namun,
Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam
perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme "Indonesia"
ada dan merupakan unsur yang paling penting.
(sumber
: http://id.wikipedia.org/wiki/Budi_Utomo
jam 20.00 selasa 28-01-2014)
Dalam kongres ini, etnonasionalisasi semakin bertambah
besar. Selain itu, dalam kongres tersebut juga timbul dua kelompok, yaitu
kelompok pertama diwakili oleh golongan pemuda yang merupakan minoritas yang
cenderung menempuh jalan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial. Adapun
kelompok kedua merupakan golongan mayoritas diwakili oleh golongan tua yang
menempuh perjuangan dengan cara lama, yaitu sosialkultural.
Dari hasil kongres 3-5 Oktober 1908 tersebut diambil
keputusan sebagai berikut :
1.
Boedi
Oetomo tidak ikut mengadakan kegiatan Politik
2.
Kegiatan
utama ditunjukan kepada bidang pendidikan dan budaya
3.
Ruang
garak terbatas hanya Jawa dan Madura
(sumber
: Ejang Odih dan Sumarni, 1995 Hal.101)
Golongan minoritas yang berpandangan maju dipelopori
oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo. Dia ingin menjadikan Budi Utomo bukan hanya
sebagai partai politik yang mementingkan rakyat, melainkan juga sebuah organisasi
yang kegiatannya tesebar di Indonesia. Sementara golongan tua menginginkan
pembentukan dewan pemimpin yang didomonasi oleh para pejabat generasi tua.
Golongan ini juga mendukung pendidikan yang luas bagi kaum priyai dan mendorong
kegiatan pengusaha jawa. Tjipto terpilih sebagai seorang anggota dewan. Namun,
pada 1909 dia mengundurkan diri dan akhirnya bergabung dengan Inddische Partij
yang perjuangannya bersifat radikal.
Dalam perkembangan selanjutnya, Budi Utomo tetap
meneruskan cita-cita yang mulia menuju “kemajuan yang selaras buat tanah air
dan bangsa”. Ketika pecah perang Dunia I (1914) Budi Utomo turut memikirkan
cara mempertahankan Indonesia dari serangan luar(sumber : Nana Supriana, Hal.
145-146).
Dalam
konteks penjajahan Kolonial Belanda, lahirnya Budi Utomo sangatlah besar
artinya. Ketika itu peraturan pemerintah kolonial Belanda, yaitu Regeerings
Reglement pasal 111, melarang didirikannya perkumpulan politik atau perkumpulan
yang dianggap menggangu ketentraman umum. Bahkan pembicaraan yang menyangkut
masalah-masalah politik dianggap tabu.
Beberapa pelajar Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang kemudian secara diam-diam melakukan
perkumpulan dan mampu menembus peraturan tersebut dengan melalui pembentukan
Budi Utomo di Jakarta. Teknik yang digunakan guna menembus peraturan pelarangan
tersebut adalah dengan mencantumkan tujuan organisasinya pada segi Sosial
Budaya. Jadi mereka berusaha menghindari pembicaraan yang menyangkut hal-hal
yang bersifat politis(Departemen Penerangan RI, 1999; 2)
Pada
awal mula pendirian Budi Utomo ini salah satunya dilatar belakangi keadaan
sosial masyarakat bumi putera yang dikatakan lumayan masih jauh dari kata
sejahtera, dan juga pada waktu itu
walaupun sekolah pendidikan dasar sudah banyak didirikan oleh Pemerintahan
Belanda namun suasana pendidikan golongan bumiputera masih jauh dari memuaskan.
Orang Indonesia yang sempat menginjak bangku perguruan tinggi seperti Soetomo
dan Gunawan Mangunkusumo di Stovia memang masih ada, tetapi rasa tidak puas
tetap melekat di dada mahasiswa-mahasiswa itu. Sebabnya ialah karena mayoritas
rakyat masih terbelakang sebagai akibat pendidikan, kehidupan, dan kebudayaan
rakyat masih jauh dari ukuran normal(Soegeng, 1992: 48)
Tentang
berdirinya perhimpunan Budi Utomo ini, juga dituliskan dari cerita Gunawan
Mangunkusumo, yang dimuat dalam buku Soembangsih,
Sebuah buku peringatan 10 tahun berdirinya Budi Utomo, diterbitkan pada 20 Mei
1918 sebagai berikut:
“tekanan-tekanan
di udara masyarkat luar dan dalam negeri sejak beberapa bulan dan dalam negeri
sejak bebrapa bulan lamanya telah menyentuh jiwa para pemuda pelajar STOVIA,
terutama jiwa Soetomo. Berita-berita luar negeri menjadi bahan pembicaraan.
Demikian juga kepincangan-kepincangan didalam negeri, terutama dibidang
pengajaran, pendidikan, perekonomian dan ke pangreh prajaa kolonial menjadi
bahan renungan. Diresahkan oleh Soetomo dengan kawan-kawannya perlunya suatu
organisasi tersendiri, untuk menunjukan kepada dunia luar bahwa pemuda dan
pelajar ingin memajukan rakyatnya di segala bidang, ingin menjadi penuntun bagi
rakyatnya dari dalam segala ke alam tenang”
Tokoh
yang tidak dapat dilepaskan dari berdirinya Budi Utomo yaitu Soetomo, Soetomo
aktif sekali menyebarkan cita-cita yang sangat luar biasa ini. Tidak hanya
teman-teman sekelasnya yang dihubungi, Soetomo juga mendatangi juga para murid
dari kelas lain, baik yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Di kelasnya
Soetomo-Goenawan tercatat 17 murid, dikelas yang lebih tinggi ada 11 murid,
dikelas yang lebih rendah ada sekitar 20 murid, belum terhitung murid-murid
dari kelas yang lebih rendah lagi. Semua kelas itu didatangi oleh Soetomo, dan
dijelaskan maksudnya. Penerimaan dimana-mana baik sekali(Roeslan, 1976; 20).
Ditetapkan
kemudian untuk berkumpul bersama pada suatu hari tertentu untuk membulatkan
pendapat. Hari itu adalah hari minggu tanggal 20 Mei 1908. Tempatnya ialah “ in de zaal van het eerste jaar der
geneeskundige afdeeling”, ‘ruang pelajaran kelas satu”. Demikian keterangan
Goenawan Mangunkusumo (ruang ini sekarang telah dipugar dan diberi nama
Ruang Budi Utomo)(Roeslan, 1976; 20).
Pada
awal lahirnya Budi Utomo, organisasi ini harus dirahasiakan lebih dulu, para
pendirinya sangat berhati-hati jangan sampai timbul rintangan-rintangan yang
tak perlu, sebelum Budi Utomo kuat. Diusahakan lebih dulu supaya
pelajar-pelajar sekolah lain, seperi pendidikan guru, penyuluh pertanian dan
sebagainya diajak untuk memperkuat barisan Budi Utomo
Dalam
tulisan Goenawan Mangukusumo:
“Tepat pukul 9 pagi semua sudah berkumpul,
Soetomo mulai berbicara, dan menjelaskan maksud dan tujuan pertemuan pagi itu.
Beliau mengemukakan gagasan dan cita-citanya secara singkat, terang, dan jelas.
Beliau berbicara “zonder hartstocht, sober en duidelijk”; tanpa nafsu,
sederhana, dan tegas. Setelah soetomo berbicara maka – tulis Goenawan
Mangunkusum, reaksinya adalah hebat sekali, “Donderend was het applaus”; semua
tepk-tangan genggap gempita, tanda setuju sepenuhnya. Gagasan Soetomo dan
kawan-kawan berhasil, didirikanlah saat itu juga perkumpulan”Budi Utomo”;
organisasi modern yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Ketuanya adalah
Soetomo!”
Demikianlah
apa yang disadur dalam tulisannya Goenawan Mangunkusumo. Tulisan ini boleh
dikatakan salah satu laporan otentik ditulis oleh orang yang ikut hadir dan
ikut mendorong cita-cita luar biasa ini(Roeslan, 1976; 25)
Dengan
Tujuan menaikkan derajat bangsa, beberapa mahasiswa tersebut mendirikan
organisasi Budi Utomo. Pada hari historis, 20 Mei 1908 didirikan oleh mereka
suatu perkumpulan , bernama Budi Utomo yang diketuai oleh Soetomo. Penerimaan
anggota dibatasi dan yang diterima hanya mereka yang mempunyai keinsyafan dan
kegairahan untuk mendukung dan menyebarkan cita-cita bersama ke arah emansipasi
dan solidaritas. Meskipun tidak dilakukan propaganda secara besar-besaran,
namun dalam satu triwulan saja jumlah anggota sudah mencapai 650 orang,
diantaranya terdapat kaum terpelajar, pegawai, pamong praja dan
swastawan (Soegeng, 1992; 48)
Daftar Pustaka
George McTurnan Kahin. 1995.Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia: _____RefleksiPergumulan
Lahirnya Republik. UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan.
M.C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada _____University
Press.
Poesponegoro
, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia V – Zaman _____Kebangkitan Nasional
dan Masa Hindia Belanda . –cet-2 Edisi Pemuktahiran. Jakarta : Balai Pustaka.
