- Diposting oleh : Gerby Novario
- pada tanggal : Januari 22, 2018
KERATON KUTO LAMO
“Transformasi Bangunan Lintas Masa”
Sultan Mahmud Badaruddin II
merupakan pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua
periode(1803-1813,1818-1821), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan
Muhammad Bahauddin(1776-1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden
Hasan Pangeran Ratu. Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin
pertempuran melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang
Menteng. Pada tangga 14 Juli 1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang,
Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Penggunaan nama Sultan Mahmmud Badaruddin II pada museum untuk menggingat dan
menghargai jasa-jasanya.
Museum ini terletak di tepi
sungai Musi di dekat Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera. Museum ini terdiri
dari dua lantai berarsitektur kolonial dengan atap rumah limas khas Palembang.
Dahulu, wilayah Museum Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan lahan bekas
keraton yang dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada tahun 1737.
Berdasarkan hasil penelitian
dari Tim Arkeologi Nasional tahun 1988, pada lokasi ditemukan fondasi batu bata
dari bangunan Kuto Lamo, di atas tumpukan balok-balok kayu yang terbakar.
Menurut catatan, bangunan Benteng Kuto Lamo di masa Sultan Mahmud Badaruddin I
(Jayo Wikramo) resmi ditempati pada hari Senin, 29 September 1737. Karena itu
disimpulkan bahwa balok-balok tersebut tentunya sudah terlebih dahulu ada.
Hal ini di buktikan seperti
yang di katakan oleh Djohan Hanafiah bahwa Bangunan ini dibangun kembali
setelah dibongkar habis, dan memang sebelumnya merupakan lokasi Benteng Kuto
Lamo yang sering juga di sebut Kuto Tengkuruk atau Kuto Batu, dimana pada
bagian dalamnya pernah berdiri Keraton Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikromo
atau Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758).
Pada era kepemimpinan Sultan
Mahmud Badaruddin (SMB) II, Tahun 1821 keraton ini mendapat serangan dari
Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian dibongkar habis pada 7 Oktober 1823
atas perintah Reguring Commissaris Belanda, J. L. Van Seven Hoven. Pemerintah
kolonial ingin menghilangkan monumental Kesultanan Palembang dan membalas
dendam atas dibakarnya Loji Sungai Aur oleh Sultan Mahmud Badaruddin II pada
tahun 1811. Atas pendudukan Kuta Besak dan penghancuran Kuta Lama, maka
konsentrasi kota berada diwilayah ini. Pasar dan kantor-kantor berdiri
dilingkungan Kuta Besak, bahkan perahu-perahu pun menjadikannya tempat berlabuh
yang ideal.
Pada tahun 1823, seiring
penghapusan kekuasaan Sultan Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823 M) Belanda
melakukan pembangunan di bekas tapak Benteng Kuto Lamo. Secara bertahap rumah
yang dibangun rencananya diperuntukkan bagi komisaris karajaan Belanda di
Palembang , J. L. Van Seven Hoven, seorang advokat fiskal, yang menggantikan
posisi Herman Warner Muntinghe. Muntinghe menjadi komisaris di Palembang selama
November 1821 - Desember 1823. Pada tahun 1824, tahap pertama rumah dikenal
sebagai gedung siput. Setelah itu, bagian bangunan terus dilakukan penambahan.
Bangunan ini selesai
didirikan kembali dengan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa dengan
arsitektur Palembang sendiri. Dibangun
bergaya indis sebagai bangunan yang lazim pada masa itu dan sudah menggunakan
bangunan baja beton dan kaca sebagai imbas dari revolusi industri di Eropa. Pada
tahun 1825 dan selanjutnya dijadikan Komisariat Pemerintah Hindia Belanda untuk
Sumatera Bagian Selatan, sekaligus sebagai kantor Residen Belanda.
Seiring dengan perjalanan
waktu dan dinamika sejarah yang terjadi di Kota Palembang, Fungsi bangunan ini teah
silih berganti, mulai dari markas Jepang pada masa pendudukan, Teritorium II
Kodam Sriwijaaya di awal kemerdekaan yang kemudian berpindah pengelolaan ke
Pemerintah Kota Palembang sebelum akhirnya menjadi Museum.
Galeri Lainnya :







