- Diposting oleh : Gerby Novario
- pada tanggal : Oktober 09, 2025
Bayangkan Nusantara yang dikuasai oleh Perusahaan Dagang
Belanda (VOC) yang sangat korup dan hampir bangkrut. Tiba-tiba, dari Eropa datanglah berita tentang
sebuah revolusi. Ini bukan sekadar pergantian penguasa, tetapi perubahan sistem
pemerintahan dari kerajaan menjadi republik! Inilah yang terjadi di Belanda.
Republik Batavia (1801-1806) adalah nama baru bagi Belanda setelah revolusi
yang didorong oleh gagasan-gagasan Revolusi Prancis—kebebasan, kesetaraan, dan
persaudaraan—dan didirikan di bawah pengaruh Prancis yang dipimpin oleh
Napoleon Bonaparte.
Lalu, apa
hubungannya dengan Nusantara? Hubungannya sangat erat. Republik Batavia ini
adalah "pengganti" resmi dari Republik Belanda lama yang menguasai
VOC. Pada 1799, VOC yang sudah seperti kapal tua yang bocor akhirnya dibubarkan
secara resmi oleh pemerintah Republik Batavia. Dengan demikian, semua hutang
dan aset VOC, termasuk koloni-koloni di seberang lautan seperti Nusantara,
diambil alih langsung oleh pemerintah Republik Batavia. Inilah momen penting
ketika Nusantara secara resmi beralih dari "milik perusahaan" menjadi
"milik negara". Namun, Republik Batavia ini umurnya pendek. Napoleon
merasa pemerintahan republik ini tidak cukup efisien dan loyal, sehingga pada
1806 ia membubarkannya dan menggantinya dengan Kerajaan Hollandia,
sebuah kerajaan boneka yang diperintah oleh adiknya sendiri, Louis Bonaparte. Perubahan
inilah yang menjadi pintu masuk bagi seorang tokoh kontroversial: Herman Willem
Daendels.
Herman Willem Daendels: Si Tangan Besi yang Mengubah
Wajah Jawa
Pada 1808, Herman Willem Daendels tiba di Nusantara dengan
jabatan baru: Gubernur Jenderal Kerajaan Hollandia (bukan lagi Republik
Batavia). Namun, semangatnya adalah semangat revolusioner Republik Batavia. Dia
adalah seorang patriot Belanda yang mendukung revolusi dan setia kepada
Prancis. Tugas utamanya sederhana namun berat: mempertahankan Pulau Jawa dari
ancaman invasi Inggris, yang saat itu sedang berperang melawan Prancis dan
sekutunya.
Daendels adalah seorang pragmatis dan diktator. Dia dikenal
sebagai "Tuan Besi" atau "Jenderal Tangan Besi" karena
kepemimpinannya yang keras, disiplin, dan tanpa kompromi. Untuk melaksanakan
tugasnya, dia melakukan serangkaian perubahan besar yang meninggalkan jejak
abadi, terutama di Jawa:
- Membangun
Jalan Raya Pos (De Grote Postweg): Ini adalah pencapaian Daendels
yang paling legendaris. Dia memerintahkan pembangunan jalan sepanjang
kurang lebih 1000 km dari Anyer di ujung barat Jawa hingga Panarukan di
ujung timur. Dibangun dengan kerja paksa (rodi) yang mengerikan dan
menewaskan ribuan pekerja pribumi, jalan ini memiliki nilai strategis
militer yang luar biasa untuk memindahkan pasukan dan artileri dengan
cepat. Namun, di balik itu, jalan ini juga menjadi urat nadi perekonomian
baru yang menghubungkan daerah-daerah terpencil, memacu perdagangan dan
mobilitas penduduk hingga hari ini.
- Reformasi
Birokrasi dan Militer: Daendels memberantas praktik korupsi yang
merajalela di zaman VOC. Dia memberlakukan gaji tetap untuk pegawai
pemerintah, menggantikan sistem "upah" yang sebelumnya banyak
berasal dari suap dan perdagangan pribadi. Dia juga membangun pabrik senjata di
Semarang dan Surabaya, serta benteng-benteng baru. Untuk memperkuat
angkatan perang, dia merekrut tentara bayaran dari berbagai suku, seperti
orang Madura dan Bugis, serta membentuk pasukan tentara pribumi.
- Sentralisasi
Kekuasaan dan Campur Tangan terhadap Kerajaan: Daendels
memperlakukan kerajaan-kerajaan lokal di Jawa (seperti Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) dengan sangat arogan. Dia memaksa mereka untuk tunduk
sepenuhnya kepada pemerintah pusat di Batavia. Sikapnya yang kasar
dan intervensinya yang dalam urusan internal kerajaan menimbulkan
ketegangan dan kebencian yang mendalam. Dia bahkan tidak segan memecat dan
mengangkat para bupati sesuai keinginannya, menunjukkan bahwa kekuasaan
tradisional lokal harus tunduk pada kekuasaan pemerintah kolonial.
- Mengatasi
Masalah Keuangan: Untuk mendanai proyek-proyek besarnya, Daendels
menerapkan cara-cara yang keras. Dia menjual tanah-tanah negara (termasuk
sebagian wilayah Banten dan Karawang) kepada pihak swasta, biasanya orang
Eropa dan Tionghoa, yang justru memunculkan sistem tuan tanah baru yang
menindas petani. Dia juga memonopoli perdagangan beberapa komoditas secara
paksa.
Warisan yang Kontroversial
Masa kekuasaan Daendels yang singkat (hanya tiga tahun)
meninggalkan warisan yang paradoks. Di satu sisi, dia adalah seorang
modernisator. Jalan Raya Pos-nya adalah sebuah mahakarya infrastruktur.
Reformasi birokrasinya meletakkan dasar bagi pemerintahan yang lebih modern.
Namun, di sisi lain, semua itu dibayar dengan penderitaan rakyat Jawa yang
sangat besar. Kerja paksa, pajak yang tinggi, dan sikapnya yang otoriter telah
menyengsarakan kehidupan banyak orang.
Kekuasaannya
berakhir pada 1811 ketika dia dipanggil pulang ke Eropa. Tak lama setelah
kepergiannya, Inggris berhasil menaklukkan Jawa, memulai periode singkat
pemerintahan Thomas Stamford Raffles. Warisan Daendels, bagaimanapun, tetap
hidup. Dia telah menunjukkan bahwa dengan kekuatan dan sentralisasi, Pulau Jawa
dapat diatur dan dimanfaatkan secara lebih "efisien" untuk
kepentingan penguasa, sebuah prinsip yang akan terus diterapkan oleh pemerintah
kolonial Belanda setelah mereka kembali berkuasa. Dengan kata lain, Daendels
adalah tokoh transisi yang brutal yang mengakhiri era gaya lama VOC dan membuka
jalan bagi sistem pemerintahan kolonial negara yang lebih terpusat dan
terstruktur di Nusantara.
Daendels Berganti Janssens
Jonkheer Mr. Willem
Janssens dikirim ke Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun 1811 oleh pemerintah Kerajaan
Hollandia (yang masih di bawah pengaruh Napoleon Bonaparte). Tugas resminya
adalah menjadi Gubernur Jenderal.
Mengapa
tugasnya sangat sulit?
- Mewarisi Keadaan yang Bobrok: Daendels telah
meninggalkan Jawa dengan benteng dan tentara yang terlihat kuat, tetapi
secara finansial hancur. Kebijakan kerja paksa dan pajak yang tinggi
membuat penduduk lokal kelelahan dan tidak bahagia.
- Ancaman Inggris yang Nyata: Saat itu, Perang Napoleon
sedang berkecamuk di Eropa. Inggris, sebagai musuh bebuyutan Prancis (dan
sekutunya, Belanda), memiliki angkatan laut yang jauh lebih unggul dan
telah memblokade serta mengisolasi Jawa.
- Sumber Daya yang Terbatas: Janssens tidak mendapat
bantuan dari Eropa karena Belanda sendiri diduduki oleh Prancis. Ia
harus bertahan dengan sumber daya yang ada di Jawa saja.
Masa Kekuasaan yang Singkat dan Berakhir Tragis
Masa kekuasaan Janssens di Jawa sangat singkat, hanya
dari Juni hingga September 1811. Selama waktu itu, ia berusaha
memperbaiki beberapa kebijakan Daendels yang paling dibenci, misalnya dengan
mencoba berhubungan lebih baik dengan penguasa lokal di Yogyakarta dan
Surakarta.
Namun, usahanya tidak cukup. Pada Agustus 1811,
armada Inggris yang besar, dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal India, Lord
Minto, dan komandan lapangan Thomas Stamford Raffles, mendarat
di Batavia (sekarang Jakarta).
Janssens, yang adalah seorang prajurit, memimpin pasukannya
untuk bertahan. Pertempuran-pertempuran sengit terjadi, tetapi pasukan Belanda
kalah jumlah dan kalah persenjataan. Janssens akhirnya terpojok dan terkepung
di dekat Semarang.
Pada 18 September 1811, dengan posisi yang sudah
tak tertolong lagi, William Janssens terpaksa menandatangani Kapitulasi
Tuntang.
Apa Isi Kapitulasi Tuntang?
Kapitulasi Tuntang pada intinya adalah dokumen
penyerahan tanpa syarat dari Belanda kepada Inggris. Isinya antara
lain:
- Seluruh tentara Belanda di Jawa
menjadi tawanan perang.
- Seluruh wilayah Hindia Belanda
(Jawa, Madura, dan semua pos dagang lainnya) diserahkan kepada Inggris.
- Harta benda dan arsip
pemerintah disita oleh Inggris.
Dengan
penandatanganan ini, berakhirlah kekuasaan Belanda (dan Prancis) di Jawa untuk
sementara waktu, dan dimulailah periode pemerintahan Inggris di bawah
Thomas Stamford Raffles.
Warisan
dan Penilaian Sejarah
William
Janssens sering digambarkan sebagai "gubernur jenderal yang
gagal" karena tidak mampu mempertahankan Jawa dari Inggris.
Namun, penilaian ini dianggap tidak sepenuhnya adil oleh banyak sejarawan.
Berikut adalah penilaian yang lebih berimbang tentang
dirinya:
- Diberikan
Tugas Mustahil: Janssens dikirim ke medan pertempuran yang sudah
dipastikan kalah. Ia
tidak memiliki armada, pasukan segar, atau dukungan logistik dari tanah
air. Melawan Inggris yang saat itu adalah kekuatan laut terkuat di dunia
adalah misi bunuh diri.
- Bukan
Administrator yang Lemah: Sebagai seorang prajurit karir, ia
berjuang dengan gigih sampai titik akhir. Kesalahannya mungkin terletak pada
strategi militernya, tetapi bukan pada kurangnya nyali.
- Figur Transisi: Ia menjadi simbol
berakhirnya era pengaruh Prancis di Nusantara dan menjadi orang yang harus
"menyerahkan kunci" Jawa kepada Raffles. Peristiwa ini membuka
babak baru dalam sejarah Indonesia di bawah pemerintahan Inggris yang
singkat namun memiliki pengaruh besar.

._Gouverneur_van_de_Kaapkolonie_en_gouverneur-generaal_van_Nederlands_Oost_Indi%C3%AB_Rijksmuseum_SK-A-2219.jpeg)
.png)